Pak AR dikenal sebagai
pribadi sederhana, supel dan cerdik memberikan solusi atas persoalan riil yang
dihadapi umat. Ini sedikit kisah dari salah seorang pahlawan itu. Namanya KH
A.R. Fakhrudin. Beliau adalah seorang dai dan pernah menjabat sebagai Ketua
Umum PP Muhammadiyah terlama.
Suatu hari beliau pernah
didatangi mahasiswa yang ngekos di sekitar Kali Code Yogyakarta. Mereka
mengadu, mengeluh pada sang Ustadz kalau di daerah mereka tengah ada program
kristenisasi yang dibawa oleh seorang pastur. Tiap hari Ahad pastur tersebut
datang dan memberikan pengajaran pada anak-anak di sekitar sana. Tak enaknya,
anak-anak suka dengan “dakwah” sang pastur tersebut. Pernak-pernik dari mulai
permen sampai buku tulis yang diberikan pastur tersebut semakin menambah daya
tariknya di mata anak-anak.
“Kalau begitu apa yang sudah
kalian lakukan?”, tanya Pak AR. “Ya, kami belum ngapa-ngapain Ustad. Belum bisa
apa-apa”, jawab mereka. Pak AR kemudian menjawab, “Oke kalau begitu adakah di
antara kalian yang bisa menyanyi?”. “Ya, kalau untuk didengar sendiri bisa
Ustad”, jawab mahasiswa itu.
“Ada yang bisa maen gitar
dan punya gitar?”, tanya Pak AR lagi. “Saya bisa maen gitar dan gitarnya pun
ada Ustad”, kata salah seorang mahasiswa.
“Ada yang bisa bikin mainan
dari kertas, seperti burung kertas, kapal terbang, atau kupu-kupu kertas”? Pak
AR bertanya lagi. Mereka menjawab bisa.
“Ada yang bisa mengajar
berhitung? Mendongeng? Mengaji?” Tanya Pak AR lagi. “Bisa Ustad”, jawab mereka.
“Setiap hari Ahad biarkan
diisi Romo pastur. Senin, kalian ajak anak-anak bikin mainan kertas, Selasa
kalian ajari berhitung, Rabu kalian ajari menyanyi sambil maen gitar, Kamis
kalian ajari mendongeng, Jum’at kalian ajari mengaji, Sabtu kalian ajari
bahasa, sejarah, atau terserah kalian. Nanti saya yang ngasih buku dan permen.
Ambil besok”, kata Pak AR.
Program dimulai Ahad depan.
Sebelum mahasiswa-mahasiswa aktivis dakwah itu pulang, Pak AR titip dua lagu
untuk diajarkan pada anak-anak. Lagu pertama: “Topi Saya Bulat”, tapi syairnya
diubah jadi: “Tuhan saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tuhan
saya”. Lagu kedua: “Tuhan Alloh satu. Tak berbapak Ibu. Tak beranak tak
bersekutu. Tuhan Masa Esa. Tak ada bandingnya. Tak bercucu dari suatu apa.
Seandainya Tuhan itu dua. Dunia sungguh sudah binasa”.
Setelah sebulan, para
mahasiswa itu pun laporan ke Pak AR bahwa Romo pastur sudah tak berkunjung
lagi. “Ya, tapi kalian jangan berhenti. Pengajian jalan terus, dongengnya
terus, berhitung, bahasa, sejarah jalan terus”, kata Pak AR sambil tersenyum.
Jadilah anak-anak itu akrab dengan pengajian. Happy ending bukan?
Sumber: sangpencerah.id