1. “Sesungguhnya Allah suka
kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa
bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (Riwayat Ahmad)
Pada titik akhir
kemanfaatanlah nilai kehidupan manusia
ditentukan. Kemanfaatan yang tidak hanya tersemat dalam diri. Namun meruah
kepada keluarga, masyarakat, dan semesta. Ia menjadi tanda syukur atas karunia
Allah yang melimpah. Ia sebagai wujud tugas kekhalifahan di bumi. Lalu lewat
kemanfaatan itu pula manusia mencapai derajat khairunnas, insan terbaik.
Cukuplah berdiam di Gua Hira’ maka tidak akan ada kebencian dari orang-orang kafir. Tetaplah bersembahyang di dalam rumah, maka kaum Quraisy tak akan mengusir. Diamlah, dan lupakan kalimat, ‘Ahad, Ahad, Ahad’ maka tak akan ada lagi siksaan dari majikan, Umayah bin Khalaf. Tapi itu tak akan pernah menjadi pilihan pribadi-pribadi agung umat ini. Muhammad Saw, Abu Bakar Ash Shidiq dan Bilal bin Rabah. Setelah kebenaran menghunjam di hati, ada kerja yang harus dijalankan agar ia memberi kemanfaatan bagi semesta.
__ menjadi rahmatan lil 'alamin mestilah melalui tahapan, menjadi khairu ummah adalah kemestian, bagaimanakah menjadi rahmat jika dalam diri umat belum hadir manfaat __
— #KomunitasBelajarNulis (@ekosangpencerah) 30 Juni 2019
Cukuplah berdiam di Gua Hira’ maka tidak akan ada kebencian dari orang-orang kafir. Tetaplah bersembahyang di dalam rumah, maka kaum Quraisy tak akan mengusir. Diamlah, dan lupakan kalimat, ‘Ahad, Ahad, Ahad’ maka tak akan ada lagi siksaan dari majikan, Umayah bin Khalaf. Tapi itu tak akan pernah menjadi pilihan pribadi-pribadi agung umat ini. Muhammad Saw, Abu Bakar Ash Shidiq dan Bilal bin Rabah. Setelah kebenaran menghunjam di hati, ada kerja yang harus dijalankan agar ia memberi kemanfaatan bagi semesta.
“Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim
[14]: 24-25).
Ego seringkali menjebak
orang bijak. Asyik membangun kesalehan diri lalu mengabaikan orang lain. Dengan
dalih menjaga kesucian lalu enggan memperbaiki lingkungan yang ‘kotor’.
Melalaikan tugas dakwah yang dipikulkan pada setiap insan. Mereka lupa sedang
berada dalam perjalanan di atas lautan.
Dari Nu'man bin Basyir
radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w. bersabda: "Perumpamaan orang yang
berdiri tegak pada had-had Allah dan orang yang menjerumuskan diri di dalam
had-had Allah adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang bersama-sama ada
dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas
kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang
berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja
melalui orang-orang yang ada di atasnya, maka mereka berkata:
"Bagaimanakah andaikata kita membuat lobang saja di bagian bawah kita ini,
suatu lobang itu tentunya tidak mengganggu orang yang ada di atas kita."
Maka jika sekiranya orang
yang bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut
kehendaknya, tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang
bagian atas itu mengambil tangan orang yang bagian bawah tentulah mereka
selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu." (Riwayat
Bukhari)
Setiap manusia memiliki
kemampuan yang dengannya tugas dakwah bisa dilakukan. Jika mampu mencegah
kemunkaran dengan tangan (kekuasaan) maka lakukanlah karena itu suatu
kelebihan. Jika mampu mencegah kemunkaran dengan lisan maka ucapkanlah karena
itu menjadi keharusan. Jika tidak ada kemampuan keduanya, maka pengingkaran
hati menjadi pilihan akhir, maka inilah selemah-lemahnya iman. Kurang dari itu,
tidak ada lagi sisa keimanan.
Untuk menebus kesalahan di
masa lalu, Fudhail bin ‘Iyadh, seorang yang zuhud, mengikrarkan diri tinggal di
Baitul Haram. Hari-harinya dilalui dengan taubat dan ibadah. Tak terhitung
berapa banyak ia menangis sampai-sampai ada bekas aliran air mata di pipinya.
Suatu saat Abdullah Ibnu Mubarak, seorang ‘ulama ahli hadis, memberinya nasihat
penuh makna.
“Wahai ‘abid Al Haramain,
seandainya engkau memperhatikan kami, engkau akan tahu bahwa selama ini engkau
hanya bermain-main dalam beribadah.
Kalau pipi-pipi kalian basah
dengan air mata,
Maka leher-leher kami basah
bersimbah darah,
Kalau kuda-kuda kalian letih
dalam hal yang sia-sia,
Maka kuda-kuda kami letih di
medan laga,
Semerbak wanginya parfum itu
untuk kalian,
Sedangkan wewangian kami
pasir dan debu-debu,
Telah datang Al Quran kepada
kita menjelaskan, para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.”
Nasihat yang membuat Fudhail
tersentak. Mebangunkan kesadaran yang selama ini tersamarkan. “Engkau benar
Ibnul Mubarak. Demi Allah engkau benar!” ucapnya penuh ketegasan.
“Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup
di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali 'Imran [3]: 169)
Mengukir Prestasi Terbaik
Diam itu baik, ketika tak
ada pilihan kata yang lebih berguna. Tetapi saling menasehati dalam kebenaran
dan kesabaran menjadi lebih baik agar manusia tak terjebak dalam kerugian.
Bersikap hemat itu baik, ketika harta hanya digunakan untuk pemborosan. Tetapi
memperbanyak shadaqah akan menjadi lebih baik, agar kelak harta tidak menjadi
beban saat tanggungjawab diminta. Mengistirahatkan badan itu baik, ketimbang
beraktifitas untuk kesiaan. Tetapi mencurahkan keringat untuk kerja yang
bermanfaat akan lebih baik hingga keletihan berbalas pahala.
“Sesungguhnya Allah suka kepada
hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa
bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (Riwayat Ahmad)
Beramallah dengan amal
terbaik. Memilih amal terbaik berarti menggunakan puncak dari kemampuan.
Mengeliminasi segala kemalasan yang bersarang dalam raga. Menyingkirkan
bermacam alasan yang selalu saja ada. Tidak mudah memang. Tapi kehidupan ini
tinggal menyisakan dua peluang. Mengikuti jalan terjal penuh liku lalu menjadi
pemenang. Inilah kebajikan. Atau menelusuri jalan mudah tapi penuh tipuan lalu
menjadi pecundang. Itulah kesesatan.
“Dan Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan), Tetapi dia tiada menempuh jalan
yang mendaki lagi sukar, Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari
kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang
miskin yang sangat fakir. Kemudian ia termasuk orang-orang yang beriman dan
saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan
kanan.” (Al Balad [90]: 10-18)
Pahatkanlah kemanfaatan bagi
semesta. Tentu setiap diri punya kapasitas dan potensi yang berbeda. Itu tak
jadi soal karena setiap insan diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Ketika kata yang dipunya,
bercerminlah kepada Abu Bakar, sang pembenar yang tak pernah gentar.
Rasulullah bersabda, “Ketika
kafir Quraisy menganggap aku berdusta tentang kabar (isra’ mi’raj) maka aku
bediri di Hijir (Ismail) dan ditampakkan bagiku Baitul Maqhdis. Lalu aku
mengabarkan kepada mereka tentang tanda-tanda Baitul Maqhdis sambil aku
memandang kepadanya.” (Riwayat Bukhari dari Jabir bin Abdullah ra.)
Meskipun demikian, masih
saja banyak orang yang tidak percaya dengan perjalanan isra’ mi’raj. Jangankan
kafirin, sebagian orang mukmin pun tak mempercayainya. Tampillah Abu Bakar,
“Aku bersaksi bahwa ia (Nabi) benar.”
Mereka bertanya, “Apakah
kamu juga membenarkan Nabi telah tiba di Syam dan kembali lagi ke Makkah, hanya
dalam tempo satu malam?
“Ya. Lebih dari itupun aku
tetap membenarkannya. Aku percaya dengan berita langit dan membenarkannya.”
Pantaslah bila ia digelari
Ash Shidiq, orang yang membenarkan.
Ketika raga punya kemampuan
tenaga. Contohlah ‘Umar, kegagahan dan sikapnya yang tegas membuat barisan
Islam kian kokoh.
“Kami selalu merasa bangga
sejak ‘Umar masuk Islam,” begitu pengakuan Ibnu Mas’ud. “Islamnya ‘Umar adalah
suatu kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah
rahmat. Demi Allah, sebelum ‘Umar masuk Islam kami tak berani terang-terangan
shalat di sekitar Ka’bah. Namun ketika ‘Umar masuk Islam, ia perangi mereka
sehingga mereka tidak lagi mengganggu kami shalat.”
Ketika punya kemampuan
harta. belajarlah dari kedermawanan Utsman bin Affan.
Ialah yang membeli sumur
Raumah, satu-satunya sumber air tawar di Madinah ketika kemarau panjang
melanda, hingga setiap orang yang meminumnya wajib membayar. Utsman membelinya
seharga tiga puluh lima ribu dirham dan segera ia infakkan untuk umat Islam.
Pada perang Tabuk ketika berhadapan dengan tentara Rum, Utsman menyumbang tiga
ratus ekor unta berikut perlengkapannya, ditambah seribu dinar.
“Siapa yang menolong pasukan
(muslim) yang dalam keadaan sulit, ia akan memperoleh surga.” (Riwayat Bukhari)
Ketika punya ilmu dan
pemikiran yang berguna bagi perjuangan Islam. Teladanilah ‘Ali bin Abi Thalib,
gerbangnya ilmu pengetahuan.
Potret kesederhanaan lekat
dalam dirinya. Tapi keluasan ilmunya tak ada yang meragukan. Meski usianya
lebih muda dibanding sahabat lain, ia tak sungkan memberikan ide dan pemikiran.
Ialah yang mengajukan usulan penghitungan kalender Islam dimulai dengan hijrahnya
Nabi. Maka dikenallah sampai sekarang penanggalan hijriyah.
Ambillah bagian dalam
bangunan dakwah Islam. Pahatkan kemanfaatan bagi semesta. Bukan hanya diam atau
menyendiri di ruang sunyi. Agar wajah Islam tak hanya ditemukan di masjid,
surau-surau, atau di atas sajadah. Tapi bisa tercermin di semesta alam ini
dengan penuh rahmah.
Mari bergerak bersama Muhammadiyah, sebagai jalan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan. Karena Islam datang untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a’lam bi shawwab
Catatan Senin Pagi CSP#1