Sosok keulamaan yang begitu
kental tak bisa dipisahkan dari Kiai Haji Mas Mansur. Lahir di Surabaya pada
tanggal 25 Juni 1896 tepat di Kampung Sawahan (sekarang bernama Kampung Baru
Nur Anwar) sosok KH Mas Mansur terlahir dari keluarga yang cukup akrab dengan
Pesantren, yaitu sang ayah yang bernama KH Mas Ahmad Marzuki dan Rudah
(ibunya).
Masa kecilnya dilalui dengan
belajar agama pada ayahnya sendiri. Disamping itu, dia juga belajar di
Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Hingga pada
tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, Ia dikirim ayahnya ke Pondok
Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Disana,Ia mengkaji al-Qur’an dan
mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Khalil. (Irfan Nurudin, Tokoh
dan Pemikiran Pimpinan Tarjih, 2017)
Sosok Mas Mansur sejak kecil
sudah dikenal gemar membaca dan suka mendengarkan nasihat. Bahkan, bakat
kepemimpinannya sudah begitu melekat sejak kecil, menurut Muslihat (kakaknya),
sudah terlihat sejak kanak-kanak.
Baca Juga : Cara Cerdik Pak AR Mengatasi Kristenisasi
“Ketika masih kanak-kanak,
Ia senang bermain sekolah-sekolahan dan Ia seakan menjadi guru. Ia kumpulkan sejumlah
bantal dan ditata secara teratur. Bantal-bantal itu diibaratkan para murid.
Sedangkan dirinya seolah sebagai seorang guru,” terang Muslihat (Suara
Muhammadiyah, Tahun 2017).
Sepulang dari Pesantren
Demangan pada tahun 1908, Mas Mansur oleh orangtuanya disarankan untuk
menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal
dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah empat tahun belajar di sana,
situasi politik di Arab Saudi waktu itu memaksakan Mas Mansur pindah ke Al-Azhar,
Mesir.
Ketika Mas Mansur berada di
Mesir itulah, Ia mulai tertarik dengan ide-ide pambaharuannya yang di pelolori
Muhammad Abduh dimana saat itu tengah berkembang.
Suasana Mesir pada saat itu
sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan
nasionalisme dan pembaruan, serta memiliki pengaruh besar terhadap pribadi KH
Mas Mansur setelah pulang ke Indonesia. Sebelum pulang ke tanah air, KH Mas
Mansur singgah kembali di Mekkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 baru
pulang ke Indonesia.
Baca Juga : HAMKA, Sosok yang Mengajarkan Kesederhanaan
Perjalanan KH Mas Mansur
mengenal Muhammadiyah baru di mulai pada tahun 1921. Aktivitas KH Mas Mansur
dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah
sebagai organisasi pembaharuan. Tangga yang dilalui KH Mas Mansur di
Muhammadiyah dimulai dari jenjang Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian
menjadi Konsul Muhammadiyah Jawa Timur dan pucaknya adalah ketika KH Mas Mansur
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Bersamaan dengan
bergabungnya KH Mas Mansur pada tahun 1920-an Muhammadiyah mengalami
perkembangan sangat pesat, dimana-mana dibuka cabang Muhammadiyah. Seperti pada
tahun 1921 diresmikan cabang-cabang Muhamamdiyah antara lain; cabang
Muhammadiyah Srandakan, Imogiri, Blora, Surabaya dan Kepanjen. Kemudian pada
tahun 1922 disusul berdiri cabang Muhammadiyah di Surakarta, Garut, Jakarta,
Purwokerto, Pekalongan dan Pekajangan.
Penggagas Lahirnya Majelis
Tarjih
Kongres ke-16 Muhammadiyah
di Pekalongan pada tahun 1927 berjalan lancar dan sukses. Salah satunya
hasilnya ialah, Majelis Tarjih, yang didirikan atas dasar keputusan Kongres
atas usulan dari KH Mas Mansur yang mana pada saat itu periode kepengurusan KH
Ibrahim (1978-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah
KH Ahmad Dahlan (1868-1923). (Pak AR, Menuju Muhammadiyah 1984).
Alasan KH Mas Mansur
mendirikan Majelis Tarjih adalah guna mencegah timbulnya percekcokan dan
perselisihan masalah-masalah agama di kalangan Muhammadiyah, sebab hal itu akan
menghambat jalannya kemajuan organisasi, serta meretakkan ukhuwah Islamiyah.
Disamping itu, untuk mencegah timbulnya penyalahgunaan hukum agama demi
kepentingan pribadi (Mustofa Kamal Pasha, 1984).
Kini, diusianya yang sudah
menginjak seabad, Majelis Tarjih (kini, Majelis Tarjih dan Tajdid) dalam
menanggapi soal-soal keagamaan telah menghasilkan Himpunan Putusan Tarjih ke-3
yang memuat soal-soal keagamaan praktis tentang taharah, sholat, zakat, ibadah
haji, dan lain sebagainya. Selain itu, Majelis Tarjih dan Tajdid juga merespon
isu-isu kekinian seperti yang sudah diterbitkan yaitu fikih anti korupsi, fikih
air, fikih tata kelola, fikih informasi, fikih perlindungan anak, dan yang
tidak kalah menarik yang sedang dalam kajian dan bahasan adalah mengenai fikih
difabel, dan fikih demokrasi. (Andi)
Sumber
: muhammadiyah.or.id