Oleh: Syamsudin
Kadir
Staf Majelis Pustaka
dan Informasi PDM Kab. Cirebon-Jawa Barat
Kita kerap mati kutu
dengan kemajuan karena tak terbiasa dengan pola dadakan. Tak kreatif dalam
menghadapi teknologi yang canggihnya makin gila. Kita masih bangga untuk malas
dan mati kutu dengan kenyataan atau realitas yang kita saksikan.
Sebagai orang yang
terjun di dunia kepenulisan, diantara kita ada yang dalam setahun hanya satu
atau dua tulisan yang terpublikasi. Dan itu berjalan hampir berapa tahun. Tapi
dengan kondisi semacam itu masih saja berbangga diri.
Tak sedikit diantara
kita yang memiliki begitu banyak akun media sosial, dari facebook, instagram,
whatsapp, twitter, line, hingga website atau blog, tapi kerap tak terisi dengan
tulisan. Isinya hanya foto dan komentar ini itu yang kadang tak bermanfaat
apa-apa. Semuanya jadi mubazir begitu saja.
Sungguh, memanjakan
diri atau orang malas dan miskin kreatifitas seperti itu membuat kita semakin
tanggung. Sepintas, hal ini terlihat sederhana. Padahal ini isyarat paling
nyata bahwa bangsa ini di ujung kehancuran, karena generasi barunya terjebak
dalam kemalasan yang akut.
Mengapa dulu di saat
terbatas dari berbagai sisi justru para ulama dan begitu banyak tokoh yang
mampu berkarya?
Baca Juga: Hidden Curriculum Pesantren dan Perilaku Korupsi
Baca Juga: Hidden Curriculum Pesantren dan Perilaku Korupsi
Jawabannya, karena
mereka punya mimpi besar. Mereka adalah generasi yang disiplin dalam segala
hal. Waktu yang mereka miliki selalu teriai dengan hal-hal yang bermanfaat
termasuk untuk menulis: menghasilkan karya tulis, yang kelak tertulis oleh
sejarah sebagai karya monumental.
Lalu, mengapa di
saat serba mudah dan kemajuan teknologi informasi yang begitu canggih seperti
saat ini, kita masih sibuk untuk memanjakan ego kita dan membiarkan mental
malas berkarya mendarah daging dalam diri kita?
Kita kerap
menghabiskan waktu untuk aktivitas yang sia-sia. Tak ada upaya untuk melawan
mental malas dengan banyak membaca buku, atau menulis cerpen, puisi, essai atau
artikel, misalnya. Setiap hari bermain di media sosial, berkomentar ini itu dan
like segala macam, tapi tak ada upaya melahirkan karya tulis.
Sungguh, kemajuan
dan kreatifitas mati karena kita sibuk mengurus kemalasan dan bangga dengan
diri yang malas itu. Kalau terus begitu dan tak ada perubahan, maka kita bakal
menjadi sampah dan tersingkir dari lapak sejarah bangsa.
Jangan berharap
berubah dan punya karya terutama karya tulis kalau kita hanya bangga dengan
rasa malas dan mental miskin dalam hal kreatifitas. Padahal menunggu ini itu
adalah musuh kreatifitas!
Terbiasalah untuk
menginisiasi sesuatu dengan pola baru alias cara gila. Lawan pola lama yang
tidak produktif. Masa depan bukan milik para pemalas, tapi milik mereka yang
mampu melawan dirinya sendiri secara total.
Baca Juga: Ambulan RS Macet, Ambulan Lazismu Gantikan Antar Jenazah Non-Muslim
Baca Juga: Ambulan RS Macet, Ambulan Lazismu Gantikan Antar Jenazah Non-Muslim
Mimpi paling buruk
adalah mimpi punya karya terutama karya tulis tapi tak ada inisiatif tuk
menghadirkan kehangatan dan semangat berkarya.
Masa depan adalah
milik mereka yang kreatif dan inovatif, sebab mereka orang gila benaran. Maka
jadilah orang gila yang kerap dianggap gila. Buktikan ide dan pikiran gila kita
dengan cara tak biasa alias dengan cara gila.
Saya ingin
membuktikan bahwa kreatifitas hanya mungkin menjadi tradisi bahkan menjadi
bagian dari kehidupan kita manakala ada yang memulai atau kita berani memulai.
Lawan kemalasan, lawan kebiasaan buruk dan lawan stagnasi.
Itulah yang membuat
generasi pecinta aksara atau kita yang hendak punya karya tulis benar-benar
kreatif dan komitmen di dunia kepenulisan, bahkan siap mati-hidup dalam kondisi
menulis.
Ingat, berbagai
media massa dan media sosial sudah menanti tulisan kita. Penerbit buku juga
begitu, sudah menanti naskah buku kita. Jangan biarkan kesempatan gratis
berlalu begitu saja. Beranilah melawan diri sendiri. Mari menulis sekarang
juga, jangan sibuk beralasan alias berbasa-basi! (*)
Cirebon,
Ahad 2 Juni 2019/28
Ramadhan 1440