Kuatkan persatuan kita.
Pegang teguh pendirian kita. Berjuang terus di bawah satu komando, mewujudkan
dan mempertahankan kedaulatan serta kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
supaya kita dapat syukur dan gembira yang abadi.
Sekali Merdeka, Tetap
Merdeka! Sekali Diproklamasikan, Tetap Kita Pertahankan.”
Demikian bunyi amanat
Jenderal Sudirman pada kegiatan ta’aruf keluarga besar Muhammadiyah yang naskah
lengkapnya dimuat di majalah Suara Muhammadiyah
bulan Juli 1946. Dari ujung amanat itu terasa sekali getar semangat perjuangannya
yang sampai hari ini mampu menyentuh dan menggetarkan jiwa kita.
Panglima Besar Jenderal Sudirman |
Waktu ibukota Republik
Indonesia berada di Yogyakarta dan Jenderal Sudirman menjadi Panglima Besar,
keutuhan sesama tentara nasional Indonesia terjaga. Demikian juga keutuhan
antara pejabat militer dan sipil, keutuhan rakyat dengan pemerintah. Berada di
bawah ancaman dan tekanan serdadu Belanda yang ingin coba-coba menjajah
kembali, Jenderal Sudirman mampu menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Caranya
sederhana, dengan memberikan keteladanan. Misalnya dalam menjaga sikapnya,
penuh disiplin teguh dalam pendirian, shalih dalam beribadah dan santun serta
lembut dalam berbicara kepada siapa pun. Tetapi Pak Dirman tegas dalam
memutuskan dan memerintahkan anak buahnya untuk maju menyerbu musuh.
Para sesepuh kampung Kauman
Yogyakarta yang sering menyaksikan Jenderal Sudirman ikut dalam Pengajian Malam
Selasa di Gedung ‘Aisyiyah Kauman mengakui hal itu. Jenderal Sudirman terasa
memiliki wibawa yang kuat. Ia sangat menghormati tokoh Muhammadiyah yang hadir
di pengajian itu. Selalu patuh menjalankan keputusan Persyarikatan. Posisi
sebagai Panglima Besar pun mau ia sandang setelah mendapat persetujuan dari
Pimpinan Muhammadiyah. Sudirman pun menjalankan perannya sebagai panglima
dengan kesadaran sedang menjalankan perintah agama dan memenuhi kebutuhan
bangsanya. Agama memerintahkannya berjihad melawan penjajah, maka ia pun
bergerak gesit melawan penjajah.
Sebagai guru Muhammadiyah
dan menjadi Kepala Sekolah HIS Muhammadiyah Cilacap ia mampu menyerap spirit
KHA Dahlan. Ia mengembangkan sekolah itu dan menghargai para guru dan
koleganya. Sebagai aktivis Muhammadiyah di bagian Pemuda ia pun menjalankan
kepemimpinannya dengan baik. Sebagai kader Muhammadiyah yang dididik di Pandu
Hizbul Wathan (yang memberikan kepadanya bekal soft militerisme) dan kader
bangsa yang dididik di Bogor sebagai tentara PETA (yang memberikannya bekal
hard militerisme) ia mampu memadukan dua bekal itu ketika memimpin Tentara
Nasional Indonesia yang semula bernama BKR dan TKR itu. Tentara Nasional
Indonesia pun tumbuh menjadi tentara pejuang yang ditakuti Inggris dan Belanda.
Ketika berpamitan dengan
pimpinan dan warga Muhammadiyah Cilacap menjelang keberangkatannya menempuh
pendidikan militer di Bogor ia berpesan agar Muhammadiyah jangan ditelantarkan.
Harus tetap hidup di Cilacap. “Saya akan mempunyai tugas baru, saya akan
menjadi serdadu dan akan berangkat latihan ke Bogor. Sedulur-sedulur tulung
dienget-enget Muhammadiyah,” katanya mengharap agar Muhammadiyah jangan
dilupakan.
Keberangkatannya ke Bogor
itu merupakan awal perjuangannya di kancah militer. Mempertahankan Indonesia.
Ia meninggalkan Cilacap, dari kader Muhammadiyah menjadi kader bangsa. Sebab
sejak itu ia tidak kembali ke Cilacap. Ia bertugas di ibukota RI yang waktu itu
di Yogyakarta, dengan masih menjaga silaturahmi dengan tokoh dan warga
Muhammadiyah. Ia memimpin perang gerilya dari pelosok Yogyakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur ketika para pemimpin sipil pilih menyerah kepada Belanda.
Perjuangannya lewat perang gerilya berhasil. Belanda pun dapat diusir. Ia
kembali masuk ke kota dengan pakaian sederhana, dan tetap menghormati para
pemimpin bangsa yang dibebaskan Belanda, untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Ketika Jenderal Sudirman berpelukan dengan Bung Karno, banyak orang yang menitikkan air mata.
Sumber: Suara Muhammadiyah