Sudirman adalah seorang yang bersahaja, lihat sajalah fisiknya yang
cenderung kurus, jauh dari penampilan profil tentara yang gagah perkasa. Satu
hal yang menarik apabila kita mencermati arsip foto-foto masa silam yang memuat
sosok Sudirman adalah penampilannya yang sederhana. Seragam militer yang ia
pakai tidak terlalu istimewa sebagai seorang pimpinan tentara Indonesia.
Barangkali pakaian kebesaran Bung Karno lebih berkesan militer daripada pakaian
Sang Panglima Besar (asli militer). Cobalah dengan seksama memperhatikan
foto-foto tua itu, lihat penutup kepala yang senantiasa dipakainya. Pada banyak
kesempatan beliau selalu memakai kopiah (peci) atau bahkan blangkon, bukan topi
pet tentara sebagaimana seragam militer yang umum kita lihat. Sudirman sebagai
seorang muslim telah meneladankan kesederhanaan.
Tanggal 10 Juli 1949, rakyat Jogja berjejal di sepanjang jalan sekitar
alun-alun utara. Ada yang ditunggu saat itu. Seorang jenderal besar hendak
pulang setelah 7 bulan meninggalkan kampung halaman untuk memimpin pertempuran.
Semuanya berebutan ingin menyambut kedatangan sang pahlawan.
Ternyata jenderal besar betul-betul pahlawan. Dengan paru-paru yang
tinggal ¼ –paru satu sudah rusak, satunya lagi tinggak separuh– dia memilih
bergerilya, daripada ditangkap Belanda. Semuanya terkejut dan terharu ketika
melihat Jenderal Sudirman keluar dari tandunya. Tidak seperti gambaran sosok
tentara yang gagah dan perkasa, justru wajahnya kuyu dan pucat, tampak lebih
tua dibanding usia sebenarnya yang masih 34 tahun. Badan kurus. Amat wajar,
karena penyakit tuberkulosis telah menggerogoti parunya. Selain itu istirahat
yang kurang, makan yang tidak teratur karena sering di hutan, dan obat-obatan
yang sangat terbatas membuat kondisinya tambah buruk.
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul
Wathon Muhammadiyah, juga kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat
kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah, bahkan semangatnya
berjihad telah mengantarkan Sudirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah
militer Indonesia.
Sebagai kader Muhammadiyah, Panglima Besar Sudirman dikenal sebagai
santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni
pengajian yang diselenggarakan oelh PP Muhammadiyah di Kauman dekat Masjid
Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan
keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Ia sangat meneladani kehidupan
Rasulullah, yang mengajarkan kesederhanaan dan kebersahajaan. Sehingga
perlakuan khusus sari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu
berlebihan dan ditolaknya dengan halus.
Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum
perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud
pelaksanaan jihad fi sabilillah. Hal ini ia tanamkan kepada para anak buahnya,
bahwa mereka yang gugur dalam perang tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur
sebagai syuhada. Untuk menyeberluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik
dikalangan tentara maupun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal Besar ini
menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat
dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu
hadist Nabi :
”Insyaflah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktu hidupnya) belum pernah turut
berperang (melawan ketidakadilan) bahkan hatinya berhasrat perangpun tidak,
maka matilah ia diatas cabang kemunafikan”.
Perang gerilya yang digagasnya, tak luput dari mencontoh apa yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah
sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Sudirman yang memiliki
naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman lagi bagi
keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan
desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah beserta
para sahabat saat akan hijrah.
Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, baik untuk menjadi
pelajaran dan contoh bagi kita semua,anak bangsa. Perjalanan panjang seorang
dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya, melainkan berbuat dan
berkata hanya untuk rakyat dan bangsa tercinta. Penyakit TBC yang diderita,
tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya 38 tahun,
Panglima Besar Sudirman yang dicintai rakyatnya menutup hidupnya pada tanggal
29 Januari 1950, tepat pada hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang
umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.
Ia seorang pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan
terhadap kezaliman, membekali diri dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang
dalam, sebelum terjun kedalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalm
aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan negeri.
Meski berbadan kurus, perawakan lemah, tapi semangat dan jiwa beliau
jauh lebih besar dari tampang beliau. Tubuh Sudirman melebihi tentara yang
dilatih di Akademi Militer dimanapun juga, tidaklah berlebihan jika Presiden
Soekarno mengangkatnya menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Sumber: jendela-kaca.blogspot.com
___________________________
Jenderal Sudirman
Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Santri Muhammadiyah dan pernah menjadi Guru
Tokoh penting Hizbul Wathan Muhammadiyah