Jakarta-Perhelatan pesta
olahraga terbesar kedua di dunia setelah Olimpiade, Asian Games 2018
Jakarta-Palembang tahun 2018 lalu terus menorehkan cerita yang melatarbelakangi
kesuksesan prestasi.
Ditargetkan meraih posisi
sepuluh besar, Indonesia ternyata melampauinya. Indonesia menutup perhelatan
Asian Games dengan bertengger di posisi ke empat dari 45 peserta dengan raihan
31 medali emas, 24 medali perak, dan 47 medali perunggu. Membanggakan, sebab
hasil ini adalah perolehan emas terbanyak yang telah diraih oleh Indonesia
sepanjang mengikuti perhelatan Asian Games sejak tahun 1951.
Tapak Suci UMY (Sumber foto: tapaksuciumy.org) |
Posisi Indonesia naik satu
tingkat menggeser Iran di posisi ke empat dan menguncinya setelah cabang
olahraga Pencak Silat berhasil menyumbangkan 14 medali emas. Hampir separuh
dari raihan total medali emas yang diperoleh oleh Indonesia. Indonesia patut bangga,
pun Muhammadiyah. Sebab, warga Muhammadiyah ikut andil dalam meraih prestasi
terbaik tersebut.
Dalam Pengajian Bulanan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah edisi Jum’at, 7 September 2018 di Jakarta, Ketua PP
Muhammadiyah Muhadjir Effendi menyebut setidaknya ada tujuh kader Muhammadiyah
yang berhasil menyumbangkan medali emas bagi Indonesia. Lima kader pada cabang
olahraga silat, dan dua lainnya pada cabang olahraga panjat dinding.
Pada cabang Silat, satu dari
lima kader yang disebut Muhadjir memperoleh emas tersebut berasal dari
perguruan beladiri pencak silat yang dimiliki oleh Muhammadiyah, yaitu
perguruan pencak silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Iqbal Candra Pratama
(kelas D, pertarungan 60 kg-65 kg) dari Tapak Suci Putera Muhammadiyah
Kalimantan Timur. Selain Iqbal, dua orang pelatih yang berjaya mengawal 14
pesilat Indonesia meraih emas dalam perhelatan Asian Games ke 18 ini adalah
mantan atlit yang juga telah banyak menyumbangkan medali emas bagi Indonesia
dan berstatus sebagai pendekar Tapak Suci Muhammadiyah, yaitu Abbas Akbar dan
Rony Syaifullah.
Bukan Perjalanan Mudah
Pelatih Kepala tim nasional
Silat Indonesia, Rony Syaifullah menjelaskan bahwa kesuksesan cabang olahraga
Silat dalam perhelatan Asian Games 2018 ini tidak boleh dipandang secara
sederhana.
“Tentunya jangan dilihat
sekarang mereka dapat perhatian, tapi lihat dari jerih payah, keringat, dan
sakitnya mereka selama tiga tahun. Lihat bagaimana seorang Monita harus menahan
perut kalau berlari sebab latihan yang keras,” ujar Rony menyinggung Sarah Tra
Monita, peraih medali emas dalam kategori pertarungan kelas 55 kg – 60 kg
putri.
Peraih gelar juara dunia
sebanyak lima kali asal Boyolali itu juga menuturkan bahwa lingkungan pelatnas
para atlet menurutnya belum begitu baik untuk membangun mental dan spiritual
atlet, dua hal yang tidak kalah penting untuk membentuk calon juara.
Baca Juga: Kekuatan Gerakan Ekonomi Muhammadiyah
“Kalau berinteraksi di
pelatnas, ada banyak pengalaman. Dibandingkan dengan kehidupan di lingkungan
Muhammadiyah, kehidupan (pergaulan) atlet sangat terbuka (bebas), dan ketika
saya menjadi atlet cukup mengenaskan, nauzubillah. Termasuk jika abang saya
(Abbas Akbar) bukan orang Tapak Suci, mungkin sudah lari ke mana-mana,”
imbuhnya.
Senada dengan Rony, Abbas
Akbar yang telah menyumbangkan sekurang-kurangnya lima medali emas selama
karirnya bagi Indonesia dalam berbagai kejuaraan dunia sejak 1994 menuturkan
bahwa ada proses panjang yang dilalui para atlet cabang olahraga Pencak Silat
dalam meraih panen emas di Asian Games 2018 ini.
“2015 panggilan dari PB IPSI
untuk 2018 (Asian Games). Menuju tahun itu saya mengikuti banyak simulasi
beserta seleksi atlit dan pelatih. Selama 3 tahun mengikuti kejuaraan dunia.
Iqbal dan Sarah terseleksi dari kejuaraan nasional lalu dunia. Kejuaraan dunia
di Bali pada 2016 kami juara umum dengan perolehan 12 medali emas. Iqbal
melalui proses yang panjang menuju medali emas. Iqbal PON di Kalimantan, Sarah
di Jawa Timur. Lalu dipanggil pelatnas persiapan Sea Games. Kami juga melalui
Belgia Open, Penang Open, dan lain-lain terlebih dahulu,” urai Akbar
menjelaskan.
Untuk berada di Asian Games,
Pencak Silat juga mengalami perjuangan yang panjang. Abbas menuturkan bahwa
perjuangan mengusulkan Pencak Silat masuk dalam Asian Games sudah dimulai sejak
tahun 2002 dan baru disetujui di tahun 2018.
Upaya pencak silat masuk
dalam Asian Games juga tidak terlepas dari andil Ketua Umum IPSI Prabowo
Subianto yang melakukan pembinaan di seluruh tingkatan usia pesilat dalam
berbagai perguruan di seluruh Indonesia.
“Perjuangan ini semata-mata
dari berbagai pihak. Kami juga didorong oleh pimpinan Tapak Suci, oleh ketua
juga kami dijamu, kami disupport harus membawa Tapak Suci Putera Muhammadiyah
ke kancah yang lebih tinggi. Di Tim Pelatih, Tapak Suci menjadi wakil seluruh
perguruan pencak silat di Indonesia. Regenerasinya di tim pelatih adalah Rony.
Di atlet, adalah Iqbal. Bagi saya yang penting ini adalah putra Tapak Suci,
saya puas,” ungkap Akbar.
“Kami memang berjuang tak
kenal lelah,” ungkap Rony Syaifullah.
“Dan yang penting, olahraga
ini tidak boleh jauh dari Allah,” imbuh Akbar Abbas.
Membangun Nilai Positif dari
Doktrin Tapak Suci
Melihat kondisi yang
menurutnya tidak ideal bagi pembangunan spiritual pendekar di lingkungan para
atlet Silat Indonesia, Doktor dari Universitas Negeri Jakarta itu merasa
memiliki tanggung jawab moral untuk membangun lingkungan yang positif.
“Ketika saya masuk sebagai
pelatih kepala pada 2015, dengan Tapak Suci dipundak, kami memberikan pengaruh
yang luar biasa positif. Saya bertekad, apalagi saya tahu dawuh Nabi, kalian
semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang telah dipimpinnya,” ungkap Rony Syaifullah.
“Saya memasukkan hal-hal
positif yang kami terima dari Bapak Siddiq dan bapak Ramli Haba, tetua Tapak
Suci. Di Pelatnas Ciloto yang cuacanya dingin misalnya, saya selalu mengajak
sholat subuh berjamaah, setiap pekan juga mengundang ustad untuk memberikan
kajian. Program latihan fisik, teknik, taktik, strategi semua sama. Yang spesial
dan lebih dari tim ini, saya memberikan tim ini predikat soleh dan solehah.
Semboyan Tapak Suci menginspirasi saya, dengan iman dan akhlak saya menjadi
kuat, tanpanya kami menjadi lemah,” tutur Rony.
Rony menilai, lingkungan
positif yang dibangun di dalam pelatnas dan kehidupan para atlet berhasil
membawa dampak yang baik. Dalam Asian Games 2018 yang baru saja berlalu,
Indonesia menjadi juara umum dalam cabang olahraga Pencak Silat. Bukan langkah
yang tidak tepat bagi PB IPSI untuk menunjuk Rony dan Abbas yang harus
membimbing para atlet dari perguruan yang berbeda.
Hasilnya pun, para atlet
tidak hanya membawa nama baik bagi Indonesia, tapi juga kepada rumah mereka
yaitu perguruan tempat mereka belajar. Selain Tapak Suci Muhammadiyah, di tim
nasional Silat Indonesia ada beberapa atlet yang berasal dari perguruan seperti
Perguruan Silat Setia Hati, Perguruan Pamur Madura, Padepokan Putera Siliwangi,
Perinas Asad, Perguruan Bakti Negara, Perguruan Tadjimalela, Perisai Diri, dan
beberapa lainnya.
Peraih medali emas Iqbal
Candra Pratama (kelas D, pertarungan 60 kg-65 kg) dari Tapak Suci Putera
Muhammadiyah Kalimantan Timur dan Sarah Tra Monita, peraih medali emas dalam
kategori pertarungan kelas 55 kg – 60 kg putri mengiyakan perubahan positif
yang dirasakannya sejak tim Silat Indonesia dibimbing di bawah duet dua
pendekar Tapak Suci Muhammadiyah.
“Saya pernah tidak mendapat
medali sama sekali pada Sea Games 2017 dan hanya meraih perak pada Kejuaraan
Dunia 2016 di mana teman-teman saya mendapatkan emas. Itu rasanya sedih banget.
Saya dan Sarah tidak pernah berada di prestasi puncak yang sama ketika kami
bertanding bersama, ketika di even yang sama pasti ada yang puncak dan gagal,
apesnya saya selalu berada di posisi yang gagal itu, meskipun kalau sendiri,
Iqbal selalu dapat emas seperti pada Asian University Games 2016, invitation
2018. Jujur mungkin beliau (Rony dan Abbas) kasihan dan prihatin karena melihat
prestasi saya yang belum mendapat puncak. Beliau menyarankan sebaiknya saya
menikah dengan Sarah, karena kebetulan saat itu saya juga dekat dengan dia,
kata beliau, mungkin dengan menikah rejeki kalian ditambah oleh Allah,” tutur
pemuda 22 tahun kelahiran Lhokseumawe itu.
“Jujur setelah saya menikah,
saya fokus Asian Games, saya dan istri bertekad mengalungkan emas untuk bangsa
dan Negara ini dan Alhamdulillah berhasil. Saya dan istri menikah juga karena
ide beliau,” ungkap Iqbal. Rony tidak menampik keterangan anak didiknya
tersebut.
“Ya, mereka menikah
merupakan rekomendasi kita. Daripada terjadi yang tidak-tidak, dan terbukti
membawa dampak positif,” tegas Rony.
Sarah yang berasal dari
Perguruan Sawunggalih turut memperkuat hal tersebut. Menurutnya, pelatih
memahami hal-hal non teknis yang ada di balik setiap anak didiknya.
“Saat juara Asian University
Games 2014, saya dipanggil pelatnas untuk kejuaraan dunia. Sebelumnya di PON,
saya meraih perak. Setelah Sea Games sebenarnya sudah ada rencana nikah, tapi
disuruh percepat. Lima bulan sebelum Asian Games, 23 maret 2018 kami menikah,”
imbuh Sarah.
Melihat raihan positif tim
nasional Pencak Silat Indonesia tersebut, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa sejatinya Tapak Suci memang merupakan
bagian dari komitmen Muhammadiyah untuk berdakwah. Bagi Abdul Mu’ti, yang
menarik adalah kelanjutan sikap positif para atlet setelah berhasil meraih
kejayaan. Atlet Abdul Malik dari Perguruan Perinas Asad yang menyabet emas dari
kelas B putra 50 kg – 55 kg misalnya telah berniat untuk membangun masjid di
tiga daerah di Sulawesi Utara, yakni Bitung, Tondano dan Manembo-Nembo setelah
dirinya meraih emas.
“Sarah dan Iqbal juga
misalnya. Ketika saya tanyakan apa yang akan dilakukan pertama kali dengan
bonus sebanyak 1,5 Milyar dari pemerintah itu. Hal pertama setelah mendapat
bonus yang akan mereka lakukan adalah membayar zakat. Mereka ini adalah the
living legend yang didapat dari perjuangan yang tidak mudah,” puji Abdul Mu’ti.
Melihat hasil luar biasa
yang telah didapatkan oleh anak didiknya di dalam Asian Games 2018 ini, Roni
Syaifullah berpesan agar para generasi emas ini tidak cepat terbuai oleh
berbagai apresiasi banyak pihak dan tetap focus untuk meraih gelar-gelar
terbaik selanjutnya untuk Indonesia.
“Ini tahun terakhir saya
melatih. Saya pesan kepada dua orang ini (Sarah dan Iqbal), dan juga yang
lainnya agar jangan sampai berubah karena banyak apresiasi. Ketika anda
terlena, anda akan berbelok arah,” pesannya. (affandi)
Sumber:
umm.ac.id