"Tak kenal, maka tak
sayang". Pepatah lawas ini masih sangat cocok sampai saat ini. Sebagian
saudara kita masih belum mengenal Muhammadiyah lebih mendalam, sehingga
sebagian memandang negatif terhadap Muhammadiyah. Menurut saya untuk mengenal siapapun
maka kenali asal usul dan sejarah hidupnya. Sehingga tidak membuat kita
membenci tanpa dasar yang jelas.
Saya mengenal Muhammadiyah
pada tahun 2010, lalu saya buat kartu keanggotaan Muhammadiyah dapat nomor NBM.
Saya pelajari sejarahnya. Saya baca beberapa buku, tentang sejarah lahir Muhammadiyah. Alhamdulillah pada tahun 2015 saya berkunjung ke Kauman di Yogyakarta. Kampung Sang Pencerah. Kyai Ahmad Dahlan dilahirkan, dan
mengembangkan dakwah di sana. Saya kunjungi beberapa sekolah (amal usaha)
Muhammadiyah. Sejak saat itu, saya benar-benar bangga bermuhammadiyah.
Kini Muhammadiyah lebih tua
dari Republik yang bernama Indonesia. Satu abad lebih umurnya terlihat nyata
Muhammadiyah semakin memperlihatkan perkembangan yang sangat menggembirakan
sekaligus membanggakan. Terutama amal usaha pendidikan telah memberi
sumbangsihnya bagi tanah Air dan bangsa. Dalam hal ini, peran Muhammadiyah
semakin tertata sangat rapi manajemen organisasinya, semakin merata ke seluruh
penjuru negeri, dan semakin merambah ke segala sektor, seperti pengembangan
ekonomi, pertanian dan perkebunan, meski yang dominan tetap saja sektor
pendidikan dan kesehatan. Maka sangat dangkal bila Muhammadiyah bicara masalah
khilafiyah, sangat tidak penting untuk di bahas.
Baca Juga : Cara Cerdik Pak AR Mengatasi Kristenisasi
Di era modern ini juga,
Muhammadiyah bukan lagi gerakan reaksioner, melainkan bersama Nahdlatul Ulama
(NU), menjadi salah satu kekuatan utama civil society Indonesia, yang secara pro-aktif mempromosikan keadilan dan kesetaraan, supremasi hukum, penghormatan
HAM, toleransi, dan demokrasi bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Ini
akan menjadi isu yang positif di kancah nasional dan internasional.
Perkembangan ini membuat
Muhammadiyah meraih respek dari kalangan organisasi Islam. maupun umat beragama
dari luar Islam. Hal ini mendorong posisi Muhammadiyah, pelan tapi pasti, tidak
lagi dipersepsikan sebagai ancaman, melainkan pengayom atau minimal kawan
berjalan seiring.
Secara sikap politik
Muhammadiyah semakin konsisten menjaga sikap nonpartisannya. Ini bukan berarti
Muhammadiyah bersifat nonpolitis. Saya sangat setuju dengan sikap yang di ambil
Muhammadiyah ini. Muhammadiyah tetap berpolitik, tetapi politiknya Muhammadiyah
adalah politik amar ma'ruf nahy munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah
keburukan). Atau, meminjam istilah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Amin
Rais, Muhammadiyah berpolitik dalam level "high politics" (politik
adiluhung). Yakni bukan politik praktis atau politik kepartaian (day to day
politics), melainkan politik moral atau politik kenegaraan.
Baca Juga : HAMKA, Sosok yang Mengajarkan Kesederhanaan
Konsistensi sikap
non-partisan Muhammadiyah ini membawa perkembangan menggembirakan. Muhammadiyah
ibaratnya menjadi tidak lagi memiliki musuh politik, kecuali para koruptor dan
teroris yang mengoyak masa depan bangsa. Sebaliknya, nyaris semua kekuatan
politik partisan justru ingin mendekat kepada Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah
mewarnai partai politik manapun. Tapi tetap kembali pada rumah besar, yang
bernama "Muhammadiyah".
Sampai hari ini, saya jujur
bangga menjadi kader Muhammadiyah. Menempatkan posisi yang tepat dalam
berpolitik. Hal ini positif karena siapapun kader Muhammadiyah dapat berkiprah
di partai politik manapun sepanjang tujuan atau ideologi partai tersebut tidak
bertabrakan dengan cita-cita mulia Muhammadiyah untuk menegakkan masyarakat
utama yang diridhai Allah di bumi Indonesia.
*) Kepala SDIT Muhammadiyah Bireuen
Kandidat Doktor di
Universitas Sultan Idris Malaysia
Anda punya tulisan yang bisa dipublikasikan, silakan kirimkan ke kami. Mari kita banjiri media sosial dan media online dengan konten positif-bermutu khas Muhammadiyah. Kirim tulisan dan foto via email: redaksimuhammadiyahonline@gmail.com