@ekosangpencerah
Bila para Pemuda
Muhammadiyah lebih cenderung hati ke akhwat tarbiyah, jangan salahkan jika
kader NA, setuju dilamar NU.
Ketika NA dan NU bersatu,
bagaimana cerita awal dan akhirnya? Dalam perbincangan ringan bersama istri, setelah mencermati status
beberapa kawan tentang perbedaan pelaksanaan Idhul Adha tahun 2015 lalu di
Indonesia ternyata cukup menarik. Ada seorang akhwat yang memposting bahwa ia
senang merayakan Idul Adha meskipun berbeda hari dengan sang suami. So,
sweet.... Saya membayangkan mereka pun berbeda dalam melaksanakan puasa Arafah.
Itu hanya sekelumit dari
cerita panjang asal-muasal ‘koalisi’ NA dan NU. Di satu sisi kita patut
bersyukur dengan adanya pernikahan antar kader lintas organisasi itu akan kian
mempererat ikatan persaudaraan antara NA (Muhammadiyah) dan NU.
Toh pernikahan tidak
mengharuskan mesti satu organisasi. Titik pentingnya ialah akidah. Dan tentu
saja berbeda jenis kelamin. Maka kolaborasi antara kader NA dan Kader NU, akan
lebih membawa keanekaragaman keluarga Islam di Nusantara. Islam yang tetap
berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
Sebelum terlalu jauh
membahas ‘koalisi permanen’ NA dan NU, ada baiknya saya salinkan pengertian
istilah NA dan NU, dari website masing-masing.
Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA)
merupakan organisasi otonom yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan,
dan keputrian. NA tetap mengedepankan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
seperti yang diamanatkan oleh oleh Muhammadiyah. Tugas luhur ini dilakukan baik
secara kolektif organisasional maupun secara individu oleh personil-personil
NA. (www.nasyiah.or.id)
Nahdlatul Ulama (NU)
menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an,
Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. (www.nu.or.id)
Mohon maaf untuk pemaknaan
NU, kurang pas karena saya cari di website mereka belum ketemu kalimat
penjelasan yang lengkap.
Kembali ke topik tentang
beberapa kader NA yang kemudian memilih kader NU sebagai pendamping hidup.
Sejak bergabung di Pemuda Muhammadiyah, ada satu hal yang tidak berubah dari
tahun ke tahun: Banyaknya kader siap menikah yang belum menikah! Bahkan sampai
melewati usia 30 tahun.
Memang banyak hal dan
pertimbangan, tetapi saya juga melihat satu faktor menonjol, yakni adanya teman
kader yang juga belum menikah, sehingga ada perasaan nyaman-nyaman saja.
Bagi para ikhwan, tentu
tidak begitu banyak ‘masalah’ tetapi sadarkah jika mereka ternyata juga membuat
‘masalah’ lain? Banyak para kader NA yang menunggu untuk dikhitbah dan dinikah.
Pada masa seperti itu,
seiring beranjaknya usia, kader NA semakin punya waktu sedikit dan tidak punyak
pilihan lain kecuali melonggarkan kriteria calon imam mereka. Semula bisa jadi
prinsipnya harus kader Muhammadiyah, hanya saja lambat lain mungkin akan
berubah.
Dalam berbincangan lain,
istri saya pernah bertanya kepada sahabatnya, perempuan seperti apa yang ideal
untuk dinikahi? Jawabnya, ternyata kader Muhammadiyah itu merujuk ke akhwat
tarbiyah. Katanya, mereka terlihat santun dan menentramkan. Bisa saja itu hanya
pendapat pribadi satu orang tapi cukup untuk menebak-nebak apa yang ada di
benak sebagian kader Muhammadiyah kita. Tak suka gerakannya, tapi mendamba
akhwatnya.
Nah, sekarang bagaimana para
Pemuda Muhammadiyah? Siapkah segera mengkhitbah dan menikah dengan kader
Nasyiah? Jangan biarkan mereka terkekang dalam pilihan-pilihan sulit bagi masa
depan langkah dakwah mereka.
*) seorang anggota ranting
Pemuda Muhammadiyah