Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
telah sukses menyelenggarakan Focus Group Discussion Fikih Zakat Kontemporer
pada hari Ahad (23/6) bertempat di Hotel Tjokro Style Yogyakarta. Kegiatan yang
bekerjasama dengan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan ini
dihadiri oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Majelis Tarjih,
Pimpinan Lazismu, dan beberapa akademisi lainnya.
Prof. Yunahar Ilyas, selaku perwakilan dari Pimpinan
Pusat Muhammadiyah memberikan sambutan sekaligus membuka acara FGD ini. Dalam
sambutannya Prof. Yunahar menyampaikan bahwa dalam beberapa kesempatan Lazismu
sering bercerita tentang munculnya permasalahan-permasalahan baru dalam zakat,
sehingga perlu penelaahan yang mendalam terkait masalah ini. Karenanya FGD ini
begitu penting sebab untuk menjawab tantangan-tantangan paling mutakhir dalam
zakat kontemporer.
Prof. Yunahar kemudian mengangkat satu permasalahan yang
menjadi topik perdebatan di Majelis Ulama Indonesia yaitu tentang zakat
perusahaan. Menurutnya, ada satu pandangan dari Prof. Didin Hafiduddin yang
punya keinginan agar perusahaan-perusahaan besar dikenai zakat. Akan tetapi
pandangan tersebut ditentang oleh Prof. Amir Syarifuddin yang menegaskan bahwa
tidak ada perusahaan yang masuk neraka, yang masuk neraka itu permilik
perusahaannya. Artinya, bukan perusahaannya yang harus membayar zakat, tetapi
ashabu-nya, pemiliknya.
Prof. Yunahar kemudian menilai pendapat kedua pakar hukum
Islam tersebut. Menurutnya, perbedaan pandangan antara Prof. Didin dengan Prof.
Amir terletak pada teks dan konteks. Pandangan Prof. Amir yang menegaskan bahwa
zakat hanya dikenai pada pemilik perusahaan, sebab teks normatif dalam Qur’an
dan Sunah menunjuk person, bukan korporat. Sementara Prof. Didin yang menilai
perusahaan wajib bayar zakat didasarkan pada pertimbangan kemashlahatan yang
lebih besar.
Menurut Prof. Yunahar, MUI akhirnya memutuskan perusahaan
wajib membayar zakat, sebab pendapatannya lebih untung. Secara umum pola
pembayaran dan penghitungan zakat perusahaan juga bisa dianggap sama dengan
zakat perdagangan/trading begitu pun dengan kadar nisabnya setara dengan 85
gram emas. Prof. Yunahar menambahkan bahwa kalau sekiranya zakat dibebankan
pada pemilik perusahaan, hampir kebanyakan dari mereka tidak menunaikan zakat.
Tetapi dengan dibebankannya zakat pada perusahaan, biasanya mereka sepakat,
ikhlas, dan tepat waktu, lebih-lebih zakat dari perusahaan keuntungannya bagi
Baznas itu sangat besar.
Apa yang disampaikan Prof. Yunahar sebetulnya untuk
melemparkan wacana agar Perguruan Tinggi Muhammadiyah sama dengan perusahaan
yaitu dikenai wajib zakat setiap tahun. Menurut Prof. Yunahar, Majelis Tarjih
bisa saja mengeluarkan keputusan dan ketentuan detailnya terkait Zakat PTM.
Misalnya, membuat suatu rumusan terkait tiap-tiap PTM yang tersebar di seluruh
Indonesia dikenai zakat 2,5% untuk setiap tahun. Kalau hal ini berjalan dengan
baik, menurut Prof. Yunahar, Lazismu tinggal mengambil hasilnya, dan tidak
perlu repot-repot dengan berbagai persyarakat administratif.
Mari zakat untuk kesejahteraan ummat
Sumber : Facebook Lazismu
Kudus